ALIRAN PSIKOLOGI KOGNITIF
Tugas Strategi Belajar
Mengajar
Dosen Pembimbing :
Dra. Hj. Noor Fajriah,
M.Si
Asdini Sari,M. Pd
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN IPA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
TAHUN 2014/2015
Aliran Psikologi
Kognitif
Psikologi kognitif adalah salah satu cabang dari psikologi dengan pendekatan kognitif untuk memahami perilaku manusia. Psikologi
kognitif mempelajari tentang cara manusia menerima, mempersepsi, mempelajari,
menalar, mengingat dan berpikir tentang suatu informasi. Kognitif dalam
psikologi dapat berarti dua, yaitu bisa diartikan sebagai aktivitas mental
(persepsi, memori, atensi, dll) dan juga dapat diartikan sebagai sebuah
pendekatan psikologi. Jadi, perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi
dengan lingkungannya.
Ada tiga aspek perkembangan intelektual,
yaitu struktur, isi, dan fungsi (Dahar,
1988:179). Struktur atau skema merupakan organisasi mental tingkat tinggi yang
terbentuk pada individu ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya. Isi
merupakan pola perilaku khas anak yang tercermin pada responsnya terhadap
berbagai masalah atau situasi yang dihadapinya. Sementara fungsi adalah cara
yang digunakan organisme untuk membuat kemajuan intelektual. Fungsi terdiri
dari organisasi dan adaptasi. Semua organisme lahir dengan kecenderungan untuk
beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka. Cara beradaptasi
ini berbeda antara organisme yang satu dengan yang lain. Adaptasi terhadap
lingkungan dilakukan melalui 2 proses, yaitu asimilasi dan akomodasi. Dalam proses
asimilasi seseorang menggunakan struktur atau kemampuan yang sudah ada untuk
menanggapi masalah yang dihadapinya dalam lingkungan. Sementara pada proses
akomodasi seseorang memerlukan modifikasi struktur mental yang ada untuk
mengadakan respons terhadap tantangan lingkungan.
Perkembangan
kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak
dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindaka. Piaget yakin bahwa
pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya
perubahan perkembangan. Sementara itu, interaksi sosial dengan teman sebaya
khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang
pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998).
Aliran ini tumbuh akibat pemikiran-pemikiran
kaum rasionalisme. Aliran ini memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang
selalu berfikir, bukan makhluk yang pasif yang tunduk sepenuhnya pada
lingkungan. Secara aktif, manusia dapat memerhatikan, menafsirkan, mengolah dan
menggunakan informasi yang diperolehnya.
1.
Teori
Piaget
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif
ini sebagai Skemata ( Schemas),
yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang
individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus
disebabkan karena bekerjanya
skemata ini. Skemata ini berkembang
secara kronologis. Sebagai hasil interaksi
antara individu dengan lingkungannya. Dengan demikian seseorang individu
yang lebih dewasa memiliki struktur kognitif yang lebih lengkap dri pada ketika
ia masih kecil. Karena masih terbatasnya skema pada anak anak,seorang anak yang
baru pertama kali meliat buaya ia menyebutnya sebagai cecak besar, karena ia
baru memiliki konsep cecak yang sering dilihat dirumahnya. Ia abaru memiliki
konsep cecak dalam skemanya dan ketika ia meliat buaya untuk pertama kalinya,
konsep cecaklah yang paling dekat dengan stimulus . Peristiwa ini sering
berlanjut pada orang dewasa. Hal ini terjadi karena kurangnya perbendaharaan
kata atau dalam kehidupan sehari-harinya konsep tersebut jarang ditemui.
Misalnya , seringkali orang meenyebut kuda laut atau singa laut padahal kedua
binatang itu jauh berbeda secara hidupnya, lingkungan hidupnya, maupun bentuk
tubuhnya dengan kuda ataupun singa. Asosiasi tersebut hanya berdasarkan sebagai
bentuk tubuhnya yang hamper sama.
Perkembangan
schemata ini berlangsung secara terus-menerus melalui adaptasi dengan
lingkungnnya. Schemata tersebut membentuk suatu pola penalaran tertentu dalam
pola pikiran anak. Makin baik kualitas skema ini , makin baik pulalah pola
penalaran anak tersebut. Proses terjadinya
adaptasi dari skemta yang telah terbentuk dengan stimulus baru dilakukan dengan
dua cara , yaitu isimilasi dan akomodasi. Isimilasi adalah proses
pengintegrasian secara langsung stimulus baru ke dalam skema
yang telah terbentuk. Sedangakan akomodasi adalah proses pengintegrasian
stimulus baru ke dalam skema yang telah terbentuk secara tidak langsung. Hal
ini terjadi karena stimulus baru tidak dapat diasimilasi, karena tidak ada
skema yang sesuai yang telah dimilikinya. Pada proses akomodasi skema yang ada
memodifikasi diri atau menciptakan skema baru sehingga sesuai dengan stimulus yang baru itu. Setelah
itu asimilasi berlangsung kembali. Dengan demikian pada proses asimilasi tidak
menghasilkan perubahan skemata, melainkan hanya menunjang perubahan skemata
secara kualitas. Pada contoh di atas, seorang anak menyebut cecak besar pada
buaya pada dasarnya,ia mengasimilasi stimulus buaya ke dalam skema cecak.
Dalam
stuktur kognitif setiap individu mesti ada keseimbangan antara asimulasi dengan
akomodasi. Kesimbangan ini dimaksudkan agar dapat mendeteksi persamaan dan
perbedaan yang terdapat pada
stimulu-stimulus yang dihadapi. Perkembangan kognitif pada dasarnya adalah
perubahan dari keseimbangan yang telah dimiliki keseimbangan baru yang
diperolehnya.
Selanjutnya piaget mengemukakan tentang
perkembangan kognitif yang di alami oleh setiap individu secara lebih rinci,
dari mulai bayi hingga dewasa. Teori ini disusun berdasarkan studi klinis
terhadap anak-anak dari berbagai usia golongan menengah di Swiss. Kesimpulannya adalah pola berpikir anak tidak
sama dengan pola berfikir orang dewasa. Tahap
perkembangan kognitif atau taraf kemampuan berfikir seorang individu
sesuai dengan usianya. Makin ia dewasa makin meningkat pula kemampuan
berfikirnya. Jadi, dalam memandang anak keliru kalau beranggapan bahwa
kemampuan anak sama dengan kemampuan orang dewasa, sebeb anak bukanlah
miniature orang dewasa.
Selain daripada itu, perkembangan kognitif
seorang individu dipengaruhi pula oleh
lingkungan dan transmisi sosialnya. Jadi, karena efektivitas hubungan
antara setiap individu dengan lingkungan
dan kehidupan sosialnya berbeda satu sama lain, maka tahap perkembangan
kognitif yang dicapai oleh setiap individu berbeda pula. Oleh karena itu agar
perkembangan kognitif seorang anak
berjalan secara maksimal, sebaiknya diperkaya dengan banyak pengalaman
edukatif.
Berdasarkan hasil penelitiannya, paiget
mengemukakan bahwa ada empat tahap perkembangan kognitif dari setiap individu
yang berkembangan secara kronologis (menurut usia kalender) yaitu:
a)
Tahap
sensori motor , dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun,
b)
Tahap
pra operasi, dari sekitar umur 2 tahun sampai dengan sekitar umur 7 tahun.
c)
Tahap
operasi konkrit, dari sekitar umur 7 tahun sampai dengan sekitar umur 11 tahun,
d)
Tahap
operasi formal, dari sekitar umur 11 tahun dan seterusnya.
Sebaran umur pada
setiap tahap tersebut adalah rata-rata (sekitar) dan mungkin pula terdapat
perbedaan antara masyarakat yang satu dengan masyarakat lainya, antara individu
yang satu dengan individu lainnya. Dan teori ini berdasarkan pada hasil
penelitian di Negeri Swiss pada tahun 1950-an.
a)
Tahap
Sensori Motor ( Sensory Motoric Stage)
Bagi anak yang berada pada tahap ini,
pengalaman diperoleh melalui perubahn fisik ( gerakan anggota tubuh) dan
sensori ( koordinasi alat indra). Pada mulanya pengalaman itu bersatu dengan
dirinya, ini berarti bahwa satu objek itu ada bila ada pada penglihatannya.
Perkembangan selanjutnya ia mulai berusaha untuk mencari objek yang asalnya
terlihat kemudian menghilang dari pandangannya, asal perpindahannya terlihat.
Akhirnya dari tahap ini ia mulai mencari objek yang hilang bila benda tersebut
tidak terlihat perpindahannya. Objek mulai terpisah dari dirinya dan bersamaan
dengan itu konsep objek dalam struktur kognitifnya mulai matang. Ia mulai mampu untuk melambungkan objek fisik
ke dalam simbol-simbol, misalnya mulai
bisa berbicara meniru suara kendaraan.
b)
Tahap
Pra Operasi (Pre Operasional Stage)
Tahap ini adalah tahap persiapan untuk pengorganisasian operasi konkrit.
Istilah operasi yang digunakan oleh piaget disini adalah berupa tindakan
tindakan kognitif, seperti mengklasifikasikan sekelompok objek (classifying), menata letak benda-benda
menrut urutan tertentu (seriation), dan membilang (counting), (Mairer, 1978:24). Pada tahap ini pemikiran anak lebih
banyak berdasarkan pada pengalaman konkrit daripada pemikiran logis, sehingga
jika ia melihat obyek-obyek yang kelihatannya berbeda, maka ia mengatakannya
berbeda pula.
Contoh :
a) Perlihatkan lima buah kelereng yang sama
besar diatas meja. Kemudian ubahlah letak kelereng itu menjadi agak berjauhan.
Apabila ditanyakan kepada anak yang masih pada tahap ini. Ia akan menjawab
kelereng yang letaknya berjauhan lebih banyak.
Gambar 1
|
b) Perlihatkan segumpal plastisin (lilin
lunak/malam) berbentuk bola. Kemudian ubahlah menjadi bentuk pipih sehingga
tampak lebih besar. Apabila ditanyakan mana yang lebih banyak plastisin itu. Ia
akan menjawab plastisisn yang bentuknya pipih.
Diubah menjadi
|
Gambar 2
|
c) Perlihatkan kepada anak dua bejana dari gelas
yang bentuk dan ukurannya sama dengan dua bejana lainnya berbeda ukurannya.
Kemudian kedua bejana gelas yang sama tadi kita isi dengan cairan berwarna sama
banyak. Sambil diperlihatkan kepada siswa cairan pada kedua gelas yang sama
tadi masing-masing dipindahkan pada kedua gelas yang berbeda.setelah semuanya
dipindahkan lalu tanyakan apakah kedua cairan tersebut sama banyak. Anak pada
tahap pra operasi akan menjawab banyak kedua cairan itu berbeda.
Dipindahkan menjadi
|
A
|
B
|
Dipindahkan menjadi
|
D
|
B
|
Dipindahkan menjadi
|
D
|
B
|
Banyak cairan pada bejana C dan D tidak sama
d)
C
|
A
|
Diubah menjadi
|
B
|
D
|
Diubah menjadi
|
e)
Apabila
anak dihadapkan pada suatu daerah bidang datar(terbuat dari kertas berwarna warni) yang menyatakan luas, kemudian kertas
itu dipotong-potong dan dikumpulkan kembali dengan susunan yang berbeda seperti
tampak pada gambar sampingnya. Anak tersebut mengatakan bahwa luas gambar sebelah
kanan lebih besar dari asalnya.
Dari contoh-contoh diatas, tampak bahwa anak
masih berada di Sekolah Dasar sehingga sudah semestinya guru-guru SD maupun
guru-guru Sekolah Pendidikan Guru mengetahui benar kondisi anak pada tahp ini.
Guru-guru harus mengetahui apa yang telah dimiliki anak pada tahap ini dan
kemampuan apa yang dimilikinya.
Umumnya anak-anak pada tahap ini telah
memahami operasi logis dengan bantuan benda-benda konkrit. Kemampuan ini
terwujud dalam memahami konsep kekekalan, kemampuan untuk mengklasifikasi dan
serasi, mampu memandang suatu objek dari sudut pandang yang berbeda secara
objektif, dan mampu berfikir reversibel.
Piaget mengidentifikasi adanya enam jenis
konsep kekekalan yang berkembang selama anak berada pada tahap operasi konkrit,
yaitu :
a.
Kekekalan
banyak (6-7 tahun)
b.
Kekekalan
materi (7-8 tahun)
c.
Kekekalan
panjang (7-8 tahun)
d.
Kekekalan
luas (8-9 tahun)
e.
Kekekalan
berat (9-10 tahun)
f.
Kekekalan
volum (11-12 tahun)
(Anderson, 1970: 126-127)
Kemampuan mengurut kan objek(serasi) yang
dipahami oleh anak pada tahap ini berkembang sesuai dengan pemahaman konsep
kekekalan. Kemampuan mengurutkan objek berdasarkan panjang dipahami pada usia
sekitar 7 tahun, mengurutkan objek yang besarnya sama tetapi beratnya berlainan
dicapai pada usia sekitar 9 tahun, dan mengurutkan benda menurut volumnya
dicapainya pada sekitar 12 tahun.
Sejalan dengan kedua hal tersebut diatas,
anak pada tahap ini memahami pula konsep ekuivalensi dan klasifikasi. Piaget
membuktikannya dengan eksperimen sebagai berikut:
Seorang anak diberi 20 bola kayu, 15 buah diantaranya berwarna
merah. Apabila ditanyakan yang lebih banyak, bola kayu atau bola merah ?
Anak pada tahap pra operasional menjawab
bahwa bola merah lebih banyak, sedangkan anak pada tahap operasi konkret
menjawab bahwa bola kayu lebih banyak dari pada bola berwarna merah.
Eksperimen tersebut menunjukkan kepada kita
bahwa anak pada tahap operasi konkrit telah mampu memperhatikan sekaligus dua
macam kelompok yang berbeda. Ia telah dapat mengelompokkan benda benda yang
memiliki beberapa karakteristik ke dalam himpunan dan himpunan bagian dengan
karakteristik khusus, dan dapat melihat beberapa karakteristik khusus, dan
dapat melihat beberapa karakteristik suatu benda secara serentak.
Anak pada tahap ini baru mampu mengikat
definisi yang telah ada dan mengungkapkannya kembali, akan tetapi belum mampu
untuk merumuskan sendiri definisi-definisi tersebut secara tepat, belum mampu
untuk menguasai simbol verba atau ide-ide abstrak.
d.
Tahap
Operasi Formal (Formal Operation Stage)
Tahap operasi formal merupakan tahap akhir dari perkembangan kognitif
secara kualitas. Anak pada tahap ini sudah mampu melakukan penalaran dengan menggunakan hal-hal yang abstrak.
Penggunaan benda-benda konkrit tidak diperlukan lagi. Anak mampu bernalar tanpa
harus berhadapan dengan objek atau peristiwanya langsung. Penalaran yang
terjadi dalam struktur kognitifnya telah mampu hanya dengan menggunakan
simbol-simbol, ide-ide, abstraksi dan generalisasi. ia telah memiliki kemampuan-kemampuan
untuk melakukan operasi-operasi yang menyatakan hubungan diantara
hubungan-hubungan, memahami konsep promosi. Sebagai contoh, kita perhatikan
eksperimen piaget berikut ini :
Seorang anak pada tahap ini dihadapkan pada gambar “Pak Pendek” dan untaian
klip (penjepit kertas) untuk mengukur tinggi “Pak Pendek” itu. Kemudian
ditambahkan penjelasan bahwa”Pak Pendek” itu mempunyai teman”Pak Tinggi”. Lebih
lanjut dikatakan bahwa apabila diukur dengan batang korek api tinggi “Pak
Pendek” empat batang, sedangkan tinggi ”Pak Tinggi” enam batang korek api.
Berapakah tinggi “Pak Tinggi” bila diukur dengan klip ? Dalam memecahkan
masalah diatas, anak harus melakukan operasi terhadap operasi ( Karplus dan
Peterson, 1970).
Karakteristik lain dari anak pada tahap ini ialah telah memiliki
kemmpuan untuk melakukan penalaran hipotek-deduktif, yaitu kemampuan untuk
menyusun serangkaian hipotesis dan mengujinya (Child, 1977:127).
Suatu eksperimen beliau lakukan terhadap
anaknya sendiri bernama Paul (9,5 tahun). Child memberikan bandul yang terbuat
dari plastisin sehingga berat bandul dapat diubah-ubah dan tali bandul itupun dapat diubah-ubah panjang pendeknya.
Setelah melalui percobaan berulang kali, Paul diminta untuk menemukan
faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi waktunya ayunan bandul tersbut ?
anaknya mengemukakan bahwa faktor-faktor itu adalah berat bandul panjang tali,
dan cara melepas bandul. Kemudian Child mengemukakan dari ketiga hal tersebut
hanya satu hal yang mempengaruhi waktu ayunan. Setelah Paul melakukan kembali
percobaan tadi berulang kali, ia tidak bisa menemukannya. Dengan demikian
ketiga hipotesis yang dikemukakan itu, ia belum mampu untuk mengujinya.
Selain dari itu, karakteristik lain dari anak
pada tahap ini tela memiliki kemampuan berfikir kombinatorial (combinatorial
thought), yaitu kemampuan menyusun kombinasi-kombinasi yang mungkin dari
unsur-unsur dalam suatu sistem (Wardsworth, 1971: 103-104). Misalnya kombinasi
warna, kombinasi beberapa bilangan, kombinasi beberapa huruf.
Jadi, anak pada operasi formal tidak lagi berhubungan
dengan ada tidaknya benda benda konkrit, tetapi berhubungan dengan tipe
berfikir. Apakah situasinya disertai oleh benda-benda konkret atau tidak, bagi
anak pada tahap berfikir formal tidak menjadi masalah.
Piaget
menemukan bahwa penggunaan operasi formal (pada usia anak sekolah) bergantung
pada keakraban dengan daerah subjek tertentu. Apabila siswa akrab dengan
tertentu, lebih besar kemungkinannya menggunakan operasi formal (NUR,2001).
Menurut piaget (slavin,1994:145), perkembangan kognitif sebagian besar
tergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan
lingkungannya. Berikut ini implikasi penting dalam pembelajaran menurut teori
piaget.
1)
Memusatkan
perhatian pada berfikir atau proses mental anak, tidak sekadar pada hasilnya.
Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan
anak sehingga sampai pada jawaban tersebut, (bandingkan dengan teori belajar
perilaku yang hanya memusatkan perhatian kepada hasilnya, kebenaran jawaban,
atau perilaku siswa yang dapat diamati). Pengamatan belajar yang sesuai
dikembangkan dengan memerhatikan tahap kognitif siswa yang mutakhir. Jika guru
penuh perhatian terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai untuk sampai
pada kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi
memberikan penglaman sesuai dengan yang dimaksud.
2)
Memerhatikan
peranan pelik inisiatif anak sendiri; keterlibatan aktif dalam kegiatan
pembelajaran. Didalam kelas piaget menyajikan pengetahuan jadi (ready made)
tidak mendapat penekanan, tetapi anak didorong menemukan sendiri pengetahuan
tersebut melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Oleh sebab itu, guru
dituntut mempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan
dunia fisik. Menerapkan teori piaget berarti dalam pembelajaran banyak
menggunakan penyelidikan.
3)
Memaklumi
akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori piaget
mengasumsikan bahwa seluruh siswa melewati urutan perkembangan yang sama,
tetapi pertumbuhan tersebut berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Oleh sebab
itu, guru harus mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk
kelompok kecil dari pada bentuk kelas yang utuh.
Dari
uraian tersebut, pembelajaran menurut teori konstruktivistik piaget dilakukan
dengan memusatkan perhatian kepada berfikir atau proses mental anak, tidak
sekedar pada hasilnya dan mengutamakan peran siswa dalam kegiatan pembelajaran
serta memaklumi adanya perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan yang
dapat dipengaruhi oleh perkembangan intelektual anak.
2.7.2
Teori Bruner
Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa
belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada
konsep-konsep dan strukur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang
diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan
struktur-struktur.
Dengan mengenal konsep dan struktur yang
tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang
harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola
atau struktur tertentu akan lebih mudah di pahami dan diingat anak. Contoh anak ingin
belajar materi bangun ruang jika anak memahami konsep bangun ruang tersebut
anak cnderung akan lebih mudah memahami materi dibandingkan anak yg tidak
memahami konsep.
Bruner,
melalui teorinya itu, mengungkapkan bahwa dalam proses belajar anak sebaiknya
diberikan kesempatan untuk memanipulasi benda – benda (alat peraga). Melaui
alat peraga yang ditelitinya itu, anak akan melihat langsung bagaimana
keteraturan dan pola struktur yang terdapat dalam benda yang sedang
diperhatikannya itu. Keteraturan tersebut kemudian oleh anak dihubungkan dengan
keterangan intuitif yang telah melekat pada dirinya.
Nampaklah,
bahwa Bruner sangat menyarankan keaktifan anak dalam proses belajar secara
penuh. Lebih disukai lagi bila proses ini berlangsung di tempat yang khusus,
yang dilengkapi dengan objek-objek untuk dimanipulasi anak, misalnya
laboratorium.
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses
belajarnya anak melewati 3 tahap yaitu
a.
Tahap
enaktif
Dalam tahap ini
anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak – atik) objek.
b.
Tahap
ikonik
Dalam tahap ini
kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran
dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek
seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
c.
Tahap
simbolik
Dalam tahap ini
anak memanipulasi simbol-simbol atau lambing-lambang objek tertentu. Anak tidak
lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini
sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.
Bruner
mengadakan pengamatan ke sekolah-sekolah. Dari hasil pengamatannya itu
diperoleh beberapa kesimpulan yang melahirkan dalil-dalil. Diantara dalil-dalil
tersebut adalah dalil-dalil penyusunan (construction theorem), dalil notasi
(notation theorem), dalil kekontrasan dan dalil keanekaragaman (contras and
variation theorem), dalil pengaitan (connectivity theorem).
Selanjutnya marilah kita diskusikan
masing-masing dalil tersebut secara terperinci.
a.
Dalil
penyusunan (konstruksi)
Dalil ini
menyatakan bahwa jika anak mempunyai kemampuan dalam hal menguasai konsep,
teorema, definisi, dan semacamnya. Anak harus dilatih untuk melakukan
penyusunan representasinya. Untuk melekatkan idea tau definisi tertentu dalam
pikiran, anak-anak harus menguasai konsep dengan mencoba dan melakukannya
sendiri. Dengan demikian, jika anak aktif dan terlibat dalam kegiatan
mempelajari konsep yang dilakukan dengan jalan memperlihatkan representasi
konsep tersebut, maka anak akan lebih memahaminya.
Apabila dalam
proses perumusan dan penyusunan ide-ide tersebut anak disertai dengan bantuan
benda-benda konkret, maka mereka akan lebih mudah mengingat ide-ide yang
dipelajari itu. Siswa akan lebih mudah menerepkan ide dalam situasi riil secara
tepat. Dalam tahap ini anak memperoleh penguatan yang diakibatkan interaksinya
dengan benda-benda konkret yang dimanipulasinya. Memori seperti ini bukan
sebagai akibat penguatan. Dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya, dalam tahap
awal pemahaman konsep diperlukan aktivitas-aktivitas konkret yang mengantar anak kepada pengertian konsep.
Anak yang
mempelajari konsep perkalian yang didasarkan pada prinsip penjumlahan berulang,
akan lebih memahami konsep tersebut. Jika anak tersebut mencoba sendiri
menggunakan garis bilangan untuk memperlihatkan proses perkalian tersebut.
Sebagai contoh untuk memperlihatkan perkalian, kita ambil 3 x 5 , ini berarti
pada garis bilangan meloncat 3 x dengan loncatan sejauh 5 satuan, hasil
loncatan tersebut kita periksa, ternyata hasilnya 15. Dengan mengulangi hasil
percobaan seperti ini, anak akan benar-benar memahami dengan pengertian yang
dalam, bahwa perkalian pada dasarnya merupakan penjumlahan berulang.
b.
Dalil
Notasi
Dalil notasi
mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peranan penting.
Notasi yang digunakan dalam menyatakan sebuah konsep tertentu harus disesuaikan
dengan tahap perkembangan mental anak. Ini berarti untuk menyatakan sebuah
rumus misalnya, maka notasinya dapat dipahami oleh anak, tidak rumit dan mudah dimengerti.
Sebagai contoh notasi untuk menyatakan fungsi
f(x) = 3x – z
kita menggunakan notasi
□ = ( 3 x ∆ ) – 2
Bagi anak yang mempelajari konsep fungsi
lebih lanjut, diberikan notasi fungsi
[(x,y)]y = 3x -2,x,y = R ]
Notasi yang
diberikan tahap demi tahap ini sifatnya berurutan dari yang paling sederhana
sampai yang paling sulit. Penyajian seperti ini dalam matematika merupakan
pendekatan spiral. Dalam pendekatan spiral setiap ide-ide matematika disajikan
secara sistematis dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada tahap
awal notasi ini sederhana, diikuti dengan notasi berikutnya yang lebih
kompleks. Notasi yang terakhir, yang mungkin belum dikenal sebelumnya oleh
anak, umumnya merupakan notasi yang akan banyak digunakan dan diperlukan dalam
pembangunan konsep matematika lanjutan.
c.
Dalil
pengkontrasan dan keanekaragaman
Dalam dalil ini
dinyatakan bahwa pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan
pengubahan konsep dipahami dengan mendalam, diperlukan contoh-contoh yang
banyak, sehingga anak mampu mengetahui karakteristik konsep tersebut. Anak
perlu diberi contoh yang memenuhi rumusan atau teorema yang diberikan. Selain
itu mereka perlu juga diberi contoh-contoh yang tidak memenuhi rumusan, sifat
atau teorema, sehingga diharapkan anak tidak mengalami salah pengertian
terhadap konsep yang sedang dipelajari.
Konsep yang
diterangkan dengan contoh dan bukan contoh adalah salah satu cara pengontrasan.
Melalui cara ini anak akan mudah memahami arti karakteristik konsep yang
diberikan tersebut. Sebagai contoh, untuk menjelaskan pengertian persegi
panjang, anak harus diberi contoh bujur sangkar, belah ketupat, jajar genjang
dan segiempat lainnya selain persegi panjang. Dengan demikian anak dapat membedakan
apakah segiempat yang diberikan padanya termasuk persegipanjang atau tidak.
Keanekaragaman juga
membantu anak dalam memahami konsep yang disajikan, karena dapat memberikan
belajar bermakna bagi anak. Misalnya, untuk memperjelas pengertian bilangan prima
anak perlu diberi contoh yang banyak, yang sifatnya beranekaragam.
Perlu diberikan
contoh-contoh bilangan ganjil yang termasuk bilangan prima dengan yang tidak.
Pada anak harus diperlihatkan bahwa tidak semua bilangan ganjil termasuk
bilangan prima, sebab bilangan tersebut habis dibagi oleh bilangan lain selain
oleh bilangan itu sendiri dan oleh satu.
Untuk menjelaskan
segitiga siku-siku, perlu diberi contoh yang gambar-gambarnya tidak selalu
tegak dengan sisi miringnya dalam kedudukan miring, tapi perlu juga diberikan
gambar dengan sisi miring dengan keadaan mendatar atau membujur. Dengan cara ini anak terlatih dalam
memeriksa, apakah segitiga yang diberikan kepadanya tergolong segitiga
siku-siku atau tidak
Perhatikan gambar 6.
Gambar 6
d.
Dalil
Pengaitan (konektivitas)
Dalam dalil ini
dinyatakan bahwa dalam matematika antara satu konsep dengan konsep lainnya
terdapat hubungan yang erat, bukan saja dari segi isi, namun juga dari segi
rumus-rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin merupakan prasyarat bagi
yang lainnya, atau suatu konsep tertentu diperlukan untuk menjelaskan konsep
lainnya. Misalnya konsep dalil Pythagoras diperlukan untuk menentukan tripel
Pythagoras atau pembuktian rumus kuadratis dalam trigonometri.
Guru perlu
menjelaskan bagaimana hubungan antara sesuatu yang sedang dijelaskan dengan
objek atau rumus lain. Apakah hubungan itu dalam kesamaan rumus yang digunakan,
sama-sama dapat digunakan dalam bidang aplikasi atau dalam hal-hal lainnya.
Melalui cara ini anak akan mengetahui pentingnya konsep yang sedang dipelajari
dan memahami bagaimana kedudukan rumus atau ide yang sedang dipelajarinya itu
dalam matematika. Anak perlu menyadari bagaimana hubungan tersebut, karena
antara sebuah bahasan dengan bahasan matematika lainnya saling berkaitan.
2.7.3 Teori
Gestalt
Tokoh
aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan Kegiatan
Belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal
berikut ini.
a)
Penyajian
konsep harus lebih mengutamakan pengertian,
b)
Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa, dan
c)
Mengatur
suasana kelas agar siswa siap belajar.
Dari
ketiga hal di atas, dalam menyajikan pelajaran guru jangan member konsep yang
harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman
terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal
ini guru bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan proses melaui metode induktif.
Pendekatan
dan metode yang digunakan tersebut haruslah disesuaikan pula dengan kesiapan
intelektual siswa. Siswa SMP masih ada pada tahap operasi konkret, artinya jika
ia akan memahami konsep abstrak matematika harus dibantu dengan menggunakan
benda konkret. Oleh karen itu dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
mulailah dengan menyajikan contoh-contoh konkret yang beraneka ragam , kemudian
mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan
kegiatan belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna.
Kita
ketahui bahwa factor eksternal bisa mempengaruhi pelaksanaan dan hasil belajar
siswa. Oleh karena itu, sebelum, selama, dan sesudah mengajar guru harus
pandai-pandai (berusaha) untuk menciptakan kondisi agar siswa siap untuk
belajar dengan perasaan senang, tidak merasa terpaksa.
2.7.4 Teori
Brownell
W.
Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna
dan pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu
proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan Brownell ini
sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal
dengan sebuah drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini
ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
Aritmatika
atau berhitung yang diberikan anak-anak SD dulu lebih menitikberatkan hafalan
dan mengasah otak. Aplikasi dari bahan yang diajarkan dan bagaimana kaitannya
dengan pelajaran-pelajaran lainnya sedikit sekali dikupas. Menurut Brownell anak-anak yang berhasil
mengikuti pelajaranpada waktu ia memiliki kemampuan berhitung yang jauh
melebihi anak-anak sekarang. Banyaknya latihan yang diterapkan pada anak dan
latihan mengasah otak dengan soal-soal yang panjang dan sangat rumit merupakan
pengaruh dari doktrin disiplin formal.
Terdapat
perkembangan yang menunjukkan bahwa doktrin formal itu memiliki
kekeliruan yang cukup mendasar. Dari penelitian yang dilaksanakn pada abad 19
terdapat hasil yang menunjukkan bahwa belajar tidak melalui latihan hafalan dan
mengasah otak, namun diperoleh anak melalui bagaimana anak berbuat, berfikir ,
memperoleh persepsi dan lain lain.
2.7.5 Teori
Dienes
Berikut ini kita
pelajari teori belajar mengajar matematika yang dikemukakan oleh Zoltan P.
Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang
memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar
teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada
anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik
bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat
dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan
diantara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan –hubungan diantara
struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip
dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami
dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan
bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
Permainan
bebas merupakan tahap belajar konsep yang aktivitasnya tidak terstruktur dan
tidak diarahkan. Aktivitasnya ini memungkinkan anak mengadakan percobaan dan
mengotak-atik (memanipulasi) benda- benda konkret dan abstrak dari unsur- unsur
yang sedang di pelajarinya.
Dalam
tahap permainan bebas anak- anak berhadapan dengan unsur- unsur dalam
interaksinya dengan lingkungan belajarnya atau alam sekitar. Dalam tahap ini anak tidak hanya belajar
membentuk struktur mental, namun juga belajar membentuk struktur sikap dalam
mempersiapkan diri dalam pemahaman konsep.
Dalam
alat peraga matematika anak- anak dapat di hadapkan pada balok- balok logik
yang membantu anak- anak dalam mempelajari konsep- konsep abstrak .
dalamkegiatan belajar dengan menggunakan
alat- alat peraga ini anak- anak belajar mengenal warna, tebal tipisnya benda
yang merupakan ciri atau sifat khasnya dari benda- benda yang di manipulasiinya
yaitu.
Dalam
permanan yang disertai aturan anak- anak sudah mulai meneliti pola-pola dan
keteraturan yang terdapat dalam konsep tertentu. keteraturan ini mugkin
terdapat dalam konsep tertentu tapi
tidak terdapat dalam konsep lainnya. Anak yang telah memahami aturan- aturan yag
terdapat dalam konsep anak dapat mulai
melakukan permainan tadi. Jelaslah , dengan melalui permainan anak- anak diajak
untuk mulai mengenal dan memikirkan bagaimana struktur matematika itu.
Makin
banyak bentuk- bentuk yang berlainan
yang diberikan dalam konsep- konsep tertent, semakin jelas konsep yang
di pahami anak, karena anak- anak akan memperoleh hal- hal yang bersifat logis,
dan matematis dalam konsep yang di pelajarinya
itu.
Dalam
mencari kesamaan sifat anak- anak mulai diarahkan dengan kegiatan menemukan
sifat- sifat ini, guru perlu mengarahkan mereka dengan mentranslasikan kesamaan
stuktur dari bentuk permainan yang satu
ke bentuk permainan lainnya. Translasi ini tentu tidak boleh mengubah sifat- sifat abstrak yang ada
dalam permainan semula.
Representasi
adalah tahap pengembilan kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Anak- anak menentukan
representasi dari konsep- konsep tertentu, setelah mereka berhasil menyimpulkan
kesamaan sifat yang terdapat dalam situsai – situasi yang di hadapinya itu.
Repsentasi yang di perolehnya ini bersifat abstrak. Dengan demikian anak- anak
telah mengarah pada pengertian stuktur
matematika yang sifatnya abstrak yang terdapat dalam konsep yang sedang di
pelajari.
Simbolisasi
termasuk tahap belajar konsep yang membutuhkan kemampuan dan merumuskan
representasi dari setiap konsep- konsep dengan menggunakan simbol matematika
atau melalui perumusan verbal.
Formalisasi
merupakan tahap belajar konsep yang terakhir dalam tahap ini anak- anak di
tuntut untuk mengurutkan sifaty- sifat konsep dan kemudian merumuskan sifat- sifat baru dari konsep tersebut. Sebagai contoh, anak-
anak yang telah mengenal dasr-m dasar dalam struktur matematika seperti aksioma
harus mampu merumuskan teorema dalam arti membuktikan teorema tersebut.
2.7.6 Teori van hiele
Semua
teori belajar yang telah diuraikan dimuka adalah teori belajar yang dijadikan
landasan proses belajar mengajar matematika. Pada bagian ini akan disinggung
bagaiman teori belajaryang dikemukakan ahli pendidikan, khusus dalam bidang
geometri.
Dalam
pelajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van hiele
(1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri.
Van hiele adalah seoramg guru bahasa Belanda yang mengadakan penilitian dalam
pengajaran geometri. Hasil penilitiannya itu, yang dirumuskan dalam
disertainya, diperoleh dari kegitan Tanya jawab dan pengamatan.
Menurut
Van Hiele, tiga unsure utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi
pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu
akan dapat meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada berfikir yang lebih
tinggi.
Van
Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri,
yaitu; tahap pengenalan, tahap analisis,
tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi yang akan diuraikan sebgai
berikut.
a)
Tahap
pengenalan (Visualisasi)
Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai
suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum tentu mengetahui adanya
sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada
seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau
keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus
mempunyai sisi-sisi yang merupakan bujursangkar , bahwa sisinya ada 6 buah,
rusuk ada 12 dan lain-lain.
b)
Tahap
analisis
Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal
sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu
menyebutkan keteraturan yang ada pada benda geometri itu. Misalnya di saat ia
mengamati bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan dua pasang sisi
tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mengetahui hubungan yang
terkait antara suatu benda geometri lainya. Misalnya, anak belum mengetahui
bahwa bujursangkar adalah persegipanjang, bahwa bujursangkar adalah belah
ketupat dan sebagainya.
c)
Tahap pengurutan (deduksi informal)
Pada tahap ini anak sudah mulai mampu
melaksanakan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berpikiran
deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Suatu hal yang
perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan.
Misal ia sudah mengenali bujursangkar adalah, jajar genjang, bahwa belah
ketupat adalah laying-layang. Demikian pula dalam pengenalan benda-benda ruang,
anak-anak memahami bahwa kubus adalah balok juga, dengan keistimewaanya, yaitu
bahwasemua sisi berbentuk bujursangkar. Pola pikiranak pada tahap ini masih
belum mampu menerangakan mengapa diagonal suatu persegi panjang itu sama
panjang. Anak mungkin belum memahami bahwa belah ketupat dapat dibentuk dari
dua segitiga yang kongruen.
d)
Tahap deduksi
Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik
kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang
bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah
mengerti betapa pentingnya peranan unsure-unsur yang tidak didefinisikan, di
samping unsur- unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai
memahami dalil. Selain itu, pada tahap
ini anak sudah mulai mampu mengadakan aksioma dan postulat yang digunakan dalam
pembuktian.
Postulat
dalam pembuktian segitiga yang sama dan sebangun, seperti postulat
sudut-sudut-sudut, sisi-sisi-sisi atau sudut-sisi-sudut, dapat dipahaminya, namun
belum mengerti mengapa postulat tersebut benar dan mengapa dapat dijadikan
sebagai postulat dalam cara-cara pembuktian
e)
Tahap
akurasi
Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari
betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu
pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau
postulat-postulat dati geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berfikir
yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika tidak
semua anak, meskipun sudah duduk dibangku
sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berfikir ini.
Daftar Pustaka
1. Tim MKPBM. 2001.
Strategi Pembelajaran Matematika. ( Bandung : JICA-UPI)
2. Suprihtiningrum, Jamail. 2014. Strategi
Pembelajaran. ( Jakarta : AR RUZZ MEDIA )
3. https//id.wikipedia.org/wiki/psikologi_kognitif.
Rabu 30 September 2015 pukul 08.00 WITA
Rangkuman
Psikologi kognitif adalah salah satu cabang dari psikologi dengan pendekatan kognitif untuk memahami perilaku manusia. Psikologi
kognitif mempelajari tentang cara manusia menerima, mempersepsi, mempelajari,
menalar, mengingat dan berpikir tentang suatu informasi. Kognitif dalam
psikologi dapat berarti dua, yaitu bisa diartikan sebagai aktivitas mental
(persepsi, memori, atensi, dll) dan juga dapat diartikan sebagai sebuah
pendekatan psikologi.
1.
Teori
Piaget
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif
ini sebagai Skemata ( Schemas),
yaitu kumpulan dari skema-skema. Seorang
individu dapat mengikat, memahami, dan memberikan respon terhadap stimulus
disebabkan karena bekerjanya
skemata ini. Skemata ini berkembang
secara kronologis. Sebagai hasil interaksi
antara individu dengan lingkungannya. Berdasarkan hasil penelitiannya, paiget mengemukakan bahwa ada empat
tahap perkembangan kognitif dari setiap individu yang berkembangan secara
kronologis (menurut usia kalender) yaitu:
a)
Tahap sensori
motor , dari lahir sampai umur sekitar 2 tahun,
b)
Tahap
pra operasi, dari sekitar umur 2 tahun sampai dengan sekitar umur 7 tahun.
c)
Tahap
operasi konkrit, dari sekitar umur 7 tahun sampai dengan sekitar umur 11 tahun,
d)
Tahap
operasi formal, dari sekitar umur 11 tahun dan seterusnya.
2.
Teori
Bruner
Jerome Bruner dalam teorinya menyatakan bahwa
belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada
konsep-konsep dan strukur-struktur yang terbuat dalam pokok bahasan yang
diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan
struktur-struktur.
Dengan mengenal konsep dan struktur yang
tercakup dalam bahan yang sedang dibicarakan, anak akan memahami materi yang
harus dikuasainya itu. Ini menunjukkan bahwa materi yang mempunyai suatu pola
atau struktur tertentu akan lebih mudah di pahami dan diingat anak.
Bruner mengemukakan bahwa dalam proses
belajarnya anak melewati 3 tahap yaitu
a.
Tahap
enaktif
Dalam tahap ini
anak secara langsung terlihat dalam memanipulasi (mengotak – atik) objek.
b.
Tahap
ikonik
Dalam tahap ini
kegiatan yang dilakukan anak berhubungan dengan mental, yang merupakan gambaran
dari objek-objek yang dimanipulasinya. Anak tidak langsung memanipulasi objek
seperti yang dilakukan siswa dalam tahap enaktif.
c.
Tahap
simbolik
Dalam tahap ini
anak memanipulasi simbol-simbol atau lambing-lambang objek tertentu. Anak tidak
lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Siswa pada tahap ini
sudah mampu menggunakan notasi tanpa ketergantungan terhadap objek riil.
3. Teori Gestalt
Tokoh aliran ini
adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan Kegiatan Belajar mengajar
yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini.
d)
Penyajian
konsep harus lebih mengutamakan pengertian,
e)
Pelaksanaan
kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa, dan
f)
Mengatur
suasana kelas agar siswa siap belajar.
Dari
ketiga hal di atas, dalam menyajikan pelajaran guru jangan member konsep yang
harus diterima begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman
terhadap proses terbentuknya konsep tersebut daripada hasil akhir. Untuk hal
ini guru bertindak sebagai pembimbing dan pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan proses melaui metode induktif.
4.
Teori
Brownell
W.
Brownell mengemukakan bahwa belajar matematika harus merupakan belajar bermakna
dan pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu
proses yang bermakna. Bila kita perhatikan, teori yang dikemukakan Brownell ini
sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt, latihan hafal atau yang dikenal
dengan sebuah drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara ini
ditetapkan setelah tertanamnya pengertian.
5.
Teori Dienes
Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang
memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar
teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada
anak-anak, sedemikian rupa sehingga sistem yang dikembangkannya itu menarik
bagi anak yang mempelajari matematika.
Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat
dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan
diantara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan –hubungan diantara
struktur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip
dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami
dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan
bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.
6. Teori van hiele
Dalam pelajaran
geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van hiele (1954), yang
menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van hiele
adalah seoramg guru bahasa Belanda yang mengadakan penilitian dalam pengajaran
geometri. Hasil penilitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertainya, diperoleh
dari kegitan Tanya jawab dan pengamatan.
Menurut Van Hiele,
tiga unsure utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan
metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat
meningkatkan kemampuan berfikir anak kepada berfikir yang lebih tinggi.
Van Hiele
menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri,
yaitu; tahap pengenalan, tahap analisis,
tahap pengurutan, tahap deduksi, dan tahap akurasi
Moderator : Dewi Rara Ayu Rani
Penanya :
1.
Kiki Anggraini
2.
Khatimatul Husna
3.
Laila Rahmatin
1. Sebutkan
dan jelaskan hal-hal apa saja yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif ?
Hal-hal yang dapat mempengaruhi perkembangan
kognitif anak, yaitu :
a. Fisik
Rata-rata anak yang memiliki fisik normal lebih cenderung
memiliki perkembangan kognitif yang lebih cepat dibandingkan dengan anak yang
memiliki keterbatasan fisik.
b. Kematangan
Proses kematangan mental anak sangat berpengaruh terhadap
perkembangan kognitif anak. Anak yang memiliki proses kematangan, rata-rata
cenderung lebih cepat berkembang dibanding dengan anak yang belum mencapai
tingkat kematangan rata-rata.
c. Pengaruh
sosial
Anak yang cenderung dididik untuk berinteraksi dengan
masyarakat (berinteraksi dengan masyarakat, namun selalu dalam pengawasan orang
tua) cenderung perkembangan kognitif nya lebih baik.
d. Proses
pengaturan diri
2. Dalam
materi yang disajikan, kalian menyebutkan bahwa anak dituntut untuk belajar.
Dalam tahap sensori motor yaitu usia anak dari lahir sampai 2 tahun, bagaimana
cara kita menuntut mereka untuk belajar ?
Seperti yang kita tahu usia 0-2 tahun
merupakan golden age bagi mereka. Kita bisa menuntut mereka belajar namun
sambil bermain, materi tidak disajikan secara terus terang, namun diselipkan
didalam permainan-permainan mereka. Misal kita ingin mengajarkan mereka
mengenal bilangan bulat, maka kita bisa mengajarinya dengan media buku
mewarnai, di mana setiap lembarannya berisi angka yang akan diwarnai.
3. Salah
satu pernyataan dalam teori Gestalt yaitu penyajian konsep harus lebih
mengutamankan pengertian. Apa yang dimaksud “pengertian” dalam konteks ini.
Yang dimaksud pengertian dalam hal ini yaitu
dalam menyajikan pelajaran guru jangan memberi konsep yang harus diterima
begitu saja, melainkan harus lebih mementingkan pemahaman terhadap proses
terbentuknya konsep tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar